salam
1- Apakah hukumnya seorang isteri yang enggan melakukan solat sunat (cth: solat sunat Dhuha, Solat sunat Rawatib dll) apabila diminta suami.
Si isteri hanya melakukan solat sunat hanya apabila disuruh, kemudian meninggalkannya apabila tiada permintaan daripada suami. Sedangkan si suami meminta si isteri melakukan solat sunat setiap hari sekiranya tiada keperluan lain untuk diselesaikan terlebih dahulu.
2- Adakah untuk mengamalkan zikir (yang diamalkan Nabi S.A.W ) , perlu mendapat izin si suami?
3- Antara zikir dan membaca al-quran, mana yang perlu didahulukan? atau ke dua-duanya sentiasa utama?
Mohon pencerahan panel fiqh. Jazakallah.
*********************************************
Igun
Saudari yang bertanya semoga dirahmati Allah Ta’ala
Sebelum ana nak jawab pertanyaan saudari, ana nak bawakan 1 hadis dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam :
Dari Abdurrahman bin Auf, ia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Apabila seorang istri mengerjakan shalat wajib 5 waktu, berpuasa di bulan ramadhan, menjaga kehormatannya, dan mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya (nanti di hari kiamat) : “Masuklah dari pintu surga mana saja yang engkau suka”. (HR. Ahmad, dihasankan Syaikh Albani dalam kitab Adab az Zifat)
Harap perhatikan hadis mulia diatas !
Kami para suami, tidak ada hadis yang menyatakan : “Para suami setelah mengerjakan amalan ini dan itu boleh masuk ke pintu surga mana saja yang kalian suka”. Belum pernah ana ketemu hadis macamtu. Sungguh kami iri dengan para istri dengan hadis tersebut.
Faedah lain :
Hadis diatas tidak menyebut : “shalat sunnah dhuha, shalat sunnah rawatib, puasa sunnah senin kamis” dan lain-lain ibadah sunnah. Hadis tersebut hanya menyebut yang wajib-wajib saja, mengapa ? Karena wanita berbeda dengan laki-laki terutama dari segi fizikal. Sedangkan kegiatan seorang istri dalam mengurus rumah tangga sangat banyak dan menyita waktu, mulai dari memasak, mencuci, mengurus anak (apalagi yang jika anaknya kecil), berbelanja, melayan suami, melayan orang tua (bagi yang masih serumah dengan orang tua/mertua) dan masih banyak yang lain, tentulah sangat menguras tenaganya.
Sekarang ana cobe menjawab pertanyaan saudari :
1. Jawapan pertanyaan pertama :
Apabila suami meminta istri dalam perkara kebaikan, dan istri tidak ada uzur dan kesibukan, maka sebaiknya permintaan suami dipenuhi (liat hadis diatas : “mentaati suami”). Tidak sepatutnya ia enggan, dan (mungkin) menolak terang-terangan seperti berkata : “Itu sunat saje, tak wajib pun !”. Perkataan seperti ini tentu akan melukai hati suami.
Jika suami tidak ada, lalu istri tidak shalat sunnat, tentulah ia tidak berdosa karena shalat sunnat bukan wajib. Tapi yang lebih utama, jika ia tidak ada uzur dan kesibukan, terlebih jika ia sudah berjanji dengan suami, maka laksanakanlah shalat sunnat tersebut.
Jika ia tidak sempat, bicaralah dengan jujur kepada suami, misal dengan berkata : “Wahai abi, maapkan umi ye, tadi tak sempat shalat dhuha karena sibuk masak masakan kesukaan abi”. (Itu contoh saje, kalau dengar alasan camtu suami tak jadi marahlah Very Happy ).
Dalam kesempatan ini, ana sebagai suami menceritakan pengalaman ana pribadi :
Waktu awal perkawinan ana, ana termasuk orang yang “keras” terhadap istri dalam perkara-perkara shalat sunnat terutama shalat sunnat rawatib. Jadi ana selalu mengontrol apakah istri ana sudah shalat rawatib sebelum/setelah ia shalat wajib. Hal ini selama beberapa waktu tidak ada masalah, yakni sebelum kami mempunyai anak. Namun setelah punya anak, cerita berubah :
Setelah punya anak, istri ana bertambah 1 kesibukan baru yakni mengurus anak. Itu yang ana “terlupa”. Sampai suatu hari istri ana mengerjakan shalat wajib, setelah salam ia langsung tertidur karena keletihan. Ana langsung kasian dan sadar bahwa tidak sepatutnya membebani seseorang di luar kemampuannya.
Sekarang, ana terkadang masih mengingatkan istri untuk shalat sunnat rawatib, tapi kalau istri tak sempat, ana pun memaklumi dan taklah bermuka masam kayak dulu Very Happy .
Ini sekedar berkongsi pengalaman.
Nasehat juga buat para suami : kalaupun nak menerapakan disiplin dalam masalah ibadah sunnat, seperti shalat-shalat sunnat atau puasa sunnat, maka sebaiknya suami juga kasi teladan terlebih dahulu dengan senantiase mengamalkan. Agar dapat dicontoh istri dan anak. Karena “kebiasaan seseorang dapat menular kepada orang terdekat”.
(Note : Boleh juga ajak suami saudari ikut forum AFN ni, biar bise nambah ilmu dan sharing pengalaman. Kadang pengalaman memang guru terbaik Very Happy )
2. Jawapan pertanyaan kedua :
Mengamalkan suatu amalan zikir tidaklah disyaratkan harus meminta ijin suami.
Terkecuali ia jika mau menanyakan kepada suami –jike suami paham agama- apakah suatu zikir shahih dan boleh tak amalkan, maka hal macam tu memang harus ditanyakan kepada suami. (Misal dengan bertanya : “Abi, umi bolehkah amalkan zikir ni? Masih tak tau ie shahih tak”)
Jike suami jahil dalam masalah agama, istri kenalah bertanya kepada orang lain yang paham agama, atau ia mencari buku-buku yang membahas masalah zikir-zikir yang shahih.
3. Jawapan pertanyaan ketiga :
Tentulah membaca Al-Qur’an lebih utama, karena sebagaimana dalam hadis riwayat Tirmidzi diterangkan bahwa membaca Al-Qur’an akan mendapatkan pahala sebanyak huruf yang dibaca.
Tapi, walaupun hukum asalnya membaca Al-Qur’an lebih utama dibanding zikir, terkadang pada waktu-waktu tertentu, zikir lebih diutamakan karena ada dalil yang mengkhususkannya, seperti :
Berzikir setelah shalat wajib
- Berzikir pada waktu pagi (waktu setelah shalat subuh) dan zikir pada waktu petang (waktu setelah shalat asar). Atau dikenal dengan zikir pagi dan petang.
- Pengkhususan tersebut karena ade dalilnya. Sedangkan di luar waktu-waktu tersebut maka kembali yang lebih utama adalah membaca Al-Qur’an. Wallahu A’lam.
Faedah : Kaidah tentang mana amalan yang lebih utama seperti ini ada dibahas ulama, seperti Ibnul Qayyim dalam al-Wabil ash Shayyib, Syaikh Yusuf Qaradhawi dalam Fiqh Auliyyat, Syaikh Bakr Abu Zaid dalam Tashih ad Du’a, dan terakhir setahu ana Syaikh Ibrahim ar-Ruhaili (sayang ana lupa pulak nama kitabnya).
Sekian. Wallahu A’lam
0 comments:
Post a Comment